Bank Century (
IDX:
BCIC)
didirikan pada
6 Desember 2004 merupakan hasil merger tiga bank yakni
Bank CIC
International,
Bank Pikko dan
Bank Danpac sejak 21 November
2008 diambil alih oleh
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
berubah nama menjadi
PT Bank Mutiara Tbk.
Pemilikan
·
First Gulf Asia Holdings Limited
(Chinkara Capital Limited)
·
PT Century Mega Investindo
·
PT Antaboga Delta Securitas
·
PT Century Super Investindo
·
Lainnya (kurang dari 5%)
Hasil
merger tiga bank yaitu Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC menjadi Bank
Century yang sebelum merger ketiga bank tersebut didahului dengan adanya
akuisisi Chinkara Capital Ltd yang berdomisili hukum di Kepulauan Bahama
dengan pemegang saham mayoritas adalah Rafat
Ali Rizvi
Persetujuan
prinsip atas akuisisi diputuskan dalam rapat dewan gubenur Bank Indonesia pada
27 November 2001 dengan memberikan persetujuan akuisisi meski Chinkara Capital
Ltd tidak memenuhi persyaratan administratif berupa publikasi atas akuisisi
oleh Chinkara Capital Ltd, laporan keuangan Chinkara untuk tiga tahun terakhir,
dan rekomendasi pihak berwenang di negara asal Chinkara Capital Ltd dan rapat
dewan gubenur Bank Indonesia hanya mensyaratkan agar ketiga bank tersebut
melakukan merger, memperbaiki kondisi bank, mencegah terulangnya tindakan
melawan hukum, serta mencapai dan mempertahankan rasio kecukupan modal
(Capital Adequacy Ratio (CAR)) 8%.
Izin
akuisisi pada akhirnya diberikan pada 5 Juli 2002 meski dari hasil pemeriksaan
BI terdapat indikasi adanya perbuatan melawan hukum yang melibatkan Chinkara
Capital Ltd, pada Bank CIC akan tetapi Bank Indonesia tetap melanjutkan proses
merger atas ketiga bank tersebut meski berdasarkan hasil pemeriksaan BI periode
tahun 2001 hingga 2003 ditemukan adanya pelanggaran signifikan oleh ketiga bank
tersebut antara lain, pada Bank CIC, terdapat transaksi Surat-surat berhaga
(SSB) fiktif senilai US$ 25 juta yang melibatkan Chinkara Capital Ltd dan
terdapat beberapa Surat-surat berhaga (SSB) yang berisiko tinggi sehingga
bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang
berakibat rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio (CAR)) menjadi
negatif, serta pembayaran kewajiban general sales management 102 (GSM 102) dan
penarikan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam jumlah besar yang mengakibatkan
bank mengalami kesulitan likuiditas, serta pelanggaran Posisi Devisa Neto
(PDN). pada Bank Pikko terdapat kredit macet Texmaco yang ditukarkan dengan medium term note (MTN) Dresdner Bank
yang tidak punya notes rating dan berkualitas rendah dibawa masuk dalam merger
Bank Century, sehingga bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP) yang berakibat rasio kecukupan modal (Capital Adequacy
Ratio (CAR)) menjadi negatif. Proses akuisisi seharusnya dapat dibatalkan
jika mengacu pada persyaratan yang ditentukan oleh Bank Indonesia dalam
persetujuan akuisisi tanggal 5 Juli 2002, persyaratan tersebut antara lain
menyebutkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Bank CIC terbukti
bahwa bilamana Chinkara Capital Ltd sebagai pemegang saham bank melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan akan tetapi pada 6 Desember
2004, Bank Indonesia malah memberikan persetujuan merger atas ketiga bank
tersebut.
Pemberian
persetujuan merger tersebut dipermudah berdasarkan catatan Direktur Direktorat
Pengawasan Bank kepada Deputi Gubernur Bank Indonesia dan Deputi Gubernur
Senior Bani Indonesia pada 22 Juli 2004. Bentuk kemudahan tersebut adalah
berupa Surat-surat berhaga (SSB) pada Bank CIC yang semula dinilai macet
oleh Bank Indonesia menjadi dinilai lancar sehingga kewajiban pemenuhan setoran
kekurangan modal oleh pemegang saham pengendali (PSP) menjadi lebih
kecil dan akhirnya rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio (CAR))
seolah-olah memenuhi persyaratan merger, termasuk hasil fit and propper test
”sementara” atas pemegang saham dalam hal ini Rafat Ali Rizvi yang dinyatakan
tidak lulus lalu ditunda penilaiannya dan tidak diproses lebih lanjut.
pemberian kelonggaran tersebut tidak pernah dibahas dalam forum dewan gubenur
Bank Indonesia namun hanya dilaporkan dalam catatan Direktur Direktorat
Pengawasan Bank tanggal 22 Juli 2004. Dalam proses pemberian izin merger
terjadi manipulasi oleh Direktur Bank Indonesia yang menyatakan seolah-olah
Gubernur Bank Indonesia memberikan disposisi bahwa merger ketiga bank tersebut
mutlak diperlukan, kembali Bank Indonesia tidak menerapkan aturan dan
persyaratan dalam pelaksanaan akuisisi dan merger sebagaimana diatur dalam
Surat Keputusan (SK) Direksi BI No 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Umum, SK
Direksi BI No 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva
Produktif demikian pula dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No
2/l/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
(fit and propper test) sebagaimana terakhir diubah dengan PBI No 5/25/PBI/2003
tanggal 10 November 2003.
Pasca
merger
Selama
periode tahun 2005–2008, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BI atas Bank Century
yang diterbitkan pada 31 Oktober 2005, diketahui bahwa posisi rasio
kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio (CAR)) Bank Century per 28 Februari
2005 (dua bulan setelah merger) adalah negatif 132,5% bila sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 3/21/PBI/2001 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Bank Minimum Bank Umum dan PBI No.6/9/PBI/2004
tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank sebagaimana diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 7/38/PB 1/2005, seharusnya Bank
Century ditetapkan sebagai bank dalam pengawasan khusus sejak adanya
Laporan Hasil Pemeriksaan Bank Indonesia atas Bank Century diterbitkan pada 31
Oktober 2005.
Bank
Indonesia kemudian kembali menyetujui untuk tidak melakukan penyisihan 100%
atau pengakuan kerugian membentuk yang berbentuk Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif (PPAP) terhadap Surat-surat berhaga (SSB) tersebut
padahal menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 7/2/ PBI/2005 tentang
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum,seharusnya atas Surat-surat berhaga
(SSB) tersebut dilakukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
atau penyisihan cadangan kerugian sebesar 100% dengan demikian hal tersebut
sudah dapat merupakan rekayasa akuntansi yang dilakukan Bank Century agar
laporan keuangan bank tetap menunjukkan kecukupan modal dan ini kembali
disetujui oleh Bank Indonesia sebagai pengawas bank-bank.
Pada
tanggal 17 Pebruari 2006, Bank Century melakukan Perjanjian Asset Management
Agreement (AMA) dengan Telltop Holdings Ltd, Singapore yang akan berakhir pada
tanggal 17 Pebruari 2009, dalam rangka penjualan surat-surat berharga Bank
sebesar US$ 203,4 juta Selanjutnya dalam rangka pejualan surat berharga
tersebut Telltop Holdings Ltd menyerahkan Pledge Security Deposit sebesar US$
220 juta di Dresdner Bank (Switzerland) Ltd. Perjanjian AMA tersebut telah
diamandemen pada tahun 2007, dengan penambahan surat-surat berharga yang
dikelola oleh Telltop Holding Ltd menjadi US$ 211,4 juta kemudian sebelum
perjanjian AMA tersebut berakhir, pada tanggal 28 Januari 2009 Bank telah
melakukan konfirmasi hasil realisasi penjualan surat-surat berharga tersebut
kepada Telltop Holdings Ltd oleh karena belum ada jawaban Bank Century
melakukan klaim atas Pledge Security Deposit sebesar US$ 220 juta kepada
Dresdner Bank (Switzerland) Ltd.
Bank
ini mengalami berbagai permasalahan terutama berkaitan dengan kepemilkan Surat-surat
berhaga (SSB) antara lain US Treasury Strips, (Separate Trading of
Registered Interest and Pricipal Securities) sebanyak US$ 177 juta (sejumlah
US$ 115 juta dari US Treasury strips telah dijaminkan kepada Saudi National
Bank Corp sesuai dengan perjanjian tgl 7 Desember 2006 untuk menjamin fasilitas
L/C Confirmation. Sisa instrumen ini sebesar US$ 13 juta dipegang oleh First
Gulf Asian Holdings sebagai custodian dan $45 juta dipegang oleh Dredner Bank
sebagai custodian) dan negotiable certificates of deposit {NCD). Terdiri
dari negotiable certificates of deposit {NCD) National Australia Bank,
London sebesar US$ 45 juta, Nomura Bank International Plc. London sebesar US$
38 juta dan Deutsche Bank sebesar US$ 8 juta yang secara fisik penguasaan negotiable
certificates of deposit {NCD) tersebut berada pada First Gulf Asian
Holdings (Chinkara Capital Limited) selaku custodian bagian pelanggaran Batas
Maksimal Pemberian Kredit (BMPK) dan Posisi Devisa Neto (PDN) oleh
pengurus bank.
BI: Bank Century
Kasuistis, Kondisi Perbankan Nasional Stabil
Sumber: detikfinance.com (20-11-2008)
Indro
Bagus SU - detikFinance
Jakarta
- Pengambilalihan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya
kasuistis. Secara umum, Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa kondisi perbankan nasional
tetap stabil.
"Kondisi
perbankan secara umum masih baik dan mantap, kita belum lihat ada bank yang
berpotensi seperti Bank Century," jelas Gubernur BI Boediono dalam
konferensi persnya, di kantornya, gedung BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat
(21/11/2008).
BI
juga menegaskan, secara umum kondisi sistem perbankan nasional saat ini tetap
stabil. Adapun permasalahan yang dialami Bank Century sifatnya kasuistis serta
tidak menggambarkan kondisi sistem perbankan nasional secara keseluruhan.
"Memang
beberapa waktu yang lalu Bank Century sempat mengalami mismatch likuiditas
sehingga tidak bisa ikut serta dalam proses kliring," demikian penjelasan
dari BI.
Selanjutnya,
krisis keuangan global yang terus berlangsung ikut memperburuk kondisi keuangan
Bank Century. Namun BI melihat Bank Century masih berpotensi untuk
diselamatkan.
"Dan
guna menjaga kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan dan perekonomian
nasional secara umum, maka Pemerintah (melalui Komite Stabilitas Sistem
Keuangan atau KSSK) memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan Bank Century
kepada LPS melalui Penyertaan Modal Sementara (PMS)," demikian penjelasan
dari BI.
Terhitung
mulai hari ini, Bank Century diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),
dan selanjutnya tetap beroperasi sebagai Bank Devisa penuh yang melayani
berbagai kebutuhan jasa perbankan bagi para nasabahnya.
"Pengambilalihan
bank tersebut oleh lembaga Pemerintah ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan
keamanan dan kualitas pelayanan bagi para nasabah. Tim manajemen baru yang
terdiri dari para profesional telah ditunjuk hari ini untuk mengelola dan
meningkatkan kinerja bank," jelas Boediono.
Dalam
rangka transisi, maka operasional Bank Century dihentikan sementara pada hari
ini, dan operasional normal baru dilakukan pada Senin, 24 November. Namun
segenap karyawan PT Bank Century Tbk diminta untuk bekerja seperti biasa sesuai
tugas masing-masing dan bekerja sama sebaik-baiknya dengan manajemen baru.
"Bank
Indonesia akan terus memonitor perkembangan sektor perbankan di tanah air yang
saat ini secara umum mantap dan stabil," jelas Boediono.
Lembaga Penjamin Ambil
Alih Bank Century
Sumber: TEMPO Interaktif (20-11-2008)
TEMPO
Interaktif, Jakarta: Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) akhirnya mengambil alih
PT Bank Century mulai hari ini, Jumat (21/10). "Untuk selanjutnya tetap
beroperasi sebagai bank devisa penuh yang melayani berbagai kebutuhan jasa
perbankan bagi nasabahnya," kata Gubernur Bank Indonesia Boediono dalam
keterangan pers di kantornya, Jumat (21/10).
Boediono
menyatakan pengambilalihan bank tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan
keamanan dan kualitas pelayanan bagi para nasabah. Tim manajemen baru yang
terdiri dari para profesional telah ditunjuk hari ini untuk mengelola dan
meningkatkan kinerja bank.
Sementara
dalam proses peralihan, Bank Century tidak beroperasi pada hari ini untuk
melayani transaksi perbankan. Namun, Senin pekan depan bank tersebut dipastikan
akan melayani nasabah secara penuh, termasuk pelayanan kliring dan real time
gross settlement (RTGS).
Segenap
karyawan PT Bank Century diminta untuk bekerja seperti biasa sesuai tugas
masing-masing dan bekerja sama sebaik-baiknya dengan manajemen baru. Bank
Indonesia, kata Boediono, akan terus memonitor perkembangan sektor perbankan di
tanah air. "Secara umum masih mantap dan stabil," ucapnya.Gunanto E.
S.
Jalan Berliku Bank Century
Sejak tahun 1999
pemilik Bank Century tak lolos uji kepatutan dan kelayakan.
VIVAnews - AKHIRNYA pemerintah
mengambilalih Bank Century. Melihat jejak rekamnya, semestinya hal itu sudah
harus dilakukan pemerintah sejak enam tahun lalu. Namun, yang
mengherankan, pemerintah melalui Bank Indonesia memilih agar bank ini tetap
hidup. Berikut adalah jalan panjang bank yang dulu bernama Bank CIC ini.
1989. Robert Tantular mendirikan
Bank Century Intervest Corporation (Bank CIC). Hal ini sejalan dengan kebijakan
pemerintah yang tertuang dalam Paket Oktober tahun 1988 yang memperbolehkan
sebuah bank berdiri dengan modal awal Rp 10 miliar.
1990. Bank CIC mulai beroperasi sebagai
Bank Umum.
1993. Bank CIC berubah menjadi
Bank Devisa.
1997. Tanggal 25 Juni Bank CIC
resmi melakukan Penawaran Umum (IPO) dan mengubah posisi menjadi bank publik.
Saham Bank CIC diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya.
Maret 1999. Bank CIC melakukan
penawaran umum terbatas (rights issue) pertama. Pada tahun yang sama
Robert Tantular dinyatakan tidak lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Bank
Indonesia.
Juli 2000. Bank CIC melakukan
penawaran umum terbatas (rights issue) kedua.
22 Juli 2002. Auditor Bank
Indonesia dalam pemeriksaan intensif tanggal 16 Juli-30 November
menemukan rasio modal (CAR) Bank CIC ambles hingga minus 83,06 persen dan CIC
kekurangan modal sebesar 2,67 triliun.
Agustus 2002. Bank CIC
Internasional diumumkan BI masuk daftar pengawasan khusus karena rasio
kecukupan modalnya tinggal 5,29 persen, di bawah batas CAR ambang sehat 8
persen.
Maret 2003. Bank CIC melakukan
penawaran umum terbatas ketiga.
Juni 2003. Bank CIC melakukan
penawaran umum keempat.
22 Oktober 2004.Rapat Umum
pemegang Saham Luar Biasa menyetujui pengabungan usaha (merger) melalui
peleburan Bank Danpac dan Bank Pikko ke Bank CIC. Setelah penggabungan nama
tiga bank itu menjadi PT Bank Century Tbk (Bank Century).
6 Desember 2004. Gubernur Bank
Indonesia mengeluarkan surat persetujuan penggabungan usaha (merger) melalui
Keputusan Gubernur Bank Indonesia No 6/87/KEP.GBI/2004.
14 Desember 2004. Akta perubahan
Anggaran Dasar Perseroan disahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui
Surat Keputusan Menteri No C-30117 HP.01.04.TH.2004.
15 Desember 2004. Bank Century
resmi beroperasi.
28 Desember 2004. Bank Indonesia
mengizinkan perubahan penggunaan izin usaha PT Bank CIC Internasional Tbk untuk
digunakan PT Bank Century Tbk. melalui Keputusan Gubernur BI Nomer
6/92/KEP.GBI/2004. Pada saat pengabungan usaha, Bank Century memiliki 25 kantor
cabang, 31 kantor cabang pembantu, 7 kantor kas dan 19 ATM.
Oktober 2005. Bank Century meneken
perjanjian penyelesaian surat berharga dengan First Gulf Asia Holding Limited.
Untuk itu First Gulf menempatkan jaminan sertifikat deposito di National
Australia Bank dan Nomura Bank Internasional.
17 Februari 2006. Bank Century
melakukan Perjanjian Asset Management Agreement dengan Telltop Holdings Ltd,
Singapura untuk penyelesaian surat berharga perusahaan US$ 203 juta.. Dalam
penjaminan itu, Telltop Holdings Ltd menempatkan deposito US$ 220 juta di
Dresdner Bank (Swiss) Ltd.
13 November 2008. Bank Century
tidak boleh ikut kliring.
21 November 2008. Modalnya jeblok
2,3 persen dari ketentuan CAR sebesar 8 persen. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
resmi mengambil alih kepemilikan Bank Century.
26 November 2008. Robert Tantular,
pemegang saham pengendali Bank Century ditangkap tim Unit II Direktorat II
Ekonomi dan Khusus, Badan Reserse dan Kriminal Polri. Ia dijadikan tersangka
karena melanggar pasal 50A UU Nomor 10 Tahun 1998. Isinya, memerintahkan
manajemen dan pegawai melanggar aturan perbankan. Ancamannya, pidana penjara
7-15 tahun dan denda Rp 10 – 200 miliar. (dirangkum dari berbagai sumber)
•
VIVAnews
Panitia Khusus Hak Angket Bank Century
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Panitia Khusus Hak Angket Bank Century atau
secara umum disebut
Pansus Century adalah sebuah panitia
Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat
yang dibentuk pada tanggal
1 Desember 2009 dalam sebuah Sidang Paripurna Pengesahan Hak Angket Bank
Century terhadap usulan penggunaan hak angket DPR yang diusulkan oleh 503
Anggota DPR tersebut disahkan dan disetujuinya penggunaan hak angket untuk
mengungkap
skandal Bank Century dengan didukung oleh seluruh fraksi yang
berada di DPR yakni 9 Fraksi.
[1]
Panitia Khusus Hak Angket Bank Century
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Panitia Khusus Hak Angket Bank Century atau
secara umum disebut
Pansus Century adalah sebuah panitia
Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat
yang dibentuk pada tanggal
1 Desember 2009 dalam sebuah Sidang Paripurna Pengesahan Hak Angket Bank
Century terhadap usulan penggunaan hak angket DPR yang diusulkan oleh 503
Anggota DPR tersebut disahkan dan disetujuinya penggunaan hak angket untuk
mengungkap
skandal Bank Century dengan didukung oleh seluruh fraksi yang
berada di DPR yakni 9 Fraksi.
[1]
BPK Jelaskan 9 Temuan Audit Investigasi Bank Century
04/01/2010 – 13:59
Bank
Indonesia patut diduga tidak memberikan informasi yang sesungguhnya, lengkap,
dan mutakhir mengenai kondisi BC pada saat menyampaikan BC sebagai bank gagal
yang ditengarai berdampak sistemik kepada KSSK melalui Surat Gubernur BI
No.10/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008. Hal ini disampaikan Anggota III
BPK yang sekaligus pengarah tim pemeriksaan investigasi atas kasus PT. Bank Century,
Hasan Bisri ketika menjadi pembicara dalam acara seminar yang berjudul “Aspek
Hukum Bank Century, Kejahatan Perbankan dan Recovery asset dalam Korupsi” pada
4 Januari 2009 di Hotel Borobudur Jakarta.
Seminar yang diselenggarakan oleh LKBN ANTARA ini bertujuan untuk mengungkap
secara objektif dan transparan tentang aspek hukum Bank Century, mengenai
kendala dan solusi pengembalian Aset Negara serta mendapatkan background yang
selengkap-lengkapnya tentang kasus ini. Hasil seminar ini diharapkan dapat mengidentifikasi
modus-modus operandi kejahatan perbankan agar tidak terjadi lagi di Indonesia.
Dalam seminar ini, Hasan Bisri menjelaskan 9 temuan hasil pemeriksaan
Investigasi BPK atas kasus PT. Bank Century (BC). Selain menjelaskan 9 temuan,
anggota III BPK juga menjelaskan tujuan dan dasar penugasan dari
pemeriksaan investigasi ini.
Tujuan pemeriksaan investigasi ini adalah menilai apakah pengawasan BC oleh
Bank Indonesia (BI) telah dilakukan sesuai dengan ketentuan; menilai apakah
terdapat dugaan pelanggaran ketentuan dalam pengelolaan BC yang dapat merugikan
bank; menilai apakah proses pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
(FPJP) oleh BI kepada BC telah dilakukan sesuai dengan ketentuan; menilai
apakah proses pengambilan keputusan penyelamatan BC telah sesuai dengan
ketentuan dan didukung dengan data yang dapat diandalkan; dan menilai apakah
penyaluran dan penggunaan dana FPJP dan PMS telah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Selain Hasan Bisri, seminar ini juga menghadirkan pembicara Bibit Samad Riyanto
(KPK), Adrianus Meliala (Guru Besar Kriminologi UI), Heru Winarko (Bareskrim)
dan moderator oleh Suryopratomo (Metro TV). Hadir juga dalam acara ini Anggota
II BPK RI, Taufiequrachman Ruki, Kaditama Binbangkum, Hendar Ristriawan, Pgs.
Kabiro Humas dan Luar Negeri, Novy GA Palenkahu serta Tim Audit Investigasi
kasus Bank Century.
2.1 Menggugat Audit “Investigasi” Bank
Century oleh BPK
Hasil audit investigasi oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) terkait bailout Bank Century mulai digugat. Pasalnya, terdapat
kejanggalan akibat fakta yang berbeda, demikian juga fakta-fakta penting
lainnya yang tidak dimunculkan dalam audit tersebut.
Seperti diungkapkan oleh pengamat ekonomi Farid
Prawirane-gara bahwa dasar BPK menyatakan adanya indikasi tindakan pidana dalam
laporan audit tentang kasus Bank Century menjadi tanda tanya besar. Pasalnya,
oleh BPK juga dalam dua tahun terakhir membiarkan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) dan Bank Indonesia (BI) meraih penilaian laporan keuangan dengan predikat
“wajar tanpa pengecualian” (clear opinion).
Dengan begitu, ketika BPK secara tiba-tiba
mengatakan menemukan indikasi tindakan kriminal dalam kasus Bank Century,
setelah audit investigasi atas permintaan DPR, menjadi tidak akurat. Jika
memang benar sudah ada pelanggaran, seharusnya dalam audit rutin BPK, sudah
menemukan indikasi pelanggaran itu.”Laporan audit Century menunjukkan bahwa BPK
mengatakan hal yang bertentangan dalam satu kasus yang sama,” ujar Farid dalam
sebuah diskusi di Jakarta, Senin kemarin.
Sementara itu, laporan audit BPK yang diserahkan ke
DPR masih belum lengkap untuk dijadikan bahan pengusutan karena belum
menyertakan latar belakang kondisi perekonomian saat itu sehingga keputusan
pengucuran akhirnya dikeluarkan BI saat itu. Artinya, objektifitas audit pada
akhirnya adalah going concern, bahwa latar belakang pengambilan kebijakan juga
harus dilihat secara komprehensif.
Bagi dia, anomali laporan itu berpangkal dari
komposisi anggota BPK saat ini. Empat dari sembilan anggota BPK merupakan
mantan anggota Komisi Xl DPR. Sebagai mantan anggota DPR, mereka biasa telibat
dalam audiensi pengelolaan anggaan belanja negara. Mereka biasa melakukan
persetujuan anggaran yang diajukan pemerintah sehingga sebenarnya tak pantas
menjadi auditor.
Untuk itu dia meminta DPR untuk melakukan evaluasi
kerja terhadap hasil laporan audit BPK. Selain belum lengkap, hasil audit juga
belum cukup jika untuk melihat apakah keputusan yang dibuat BI dan Menteri
Keuangan dapat berlanjut ke proses penyidikan lebih lanjut. Sehingga laporan BPK
belum cukup untuk mengkrimi-nalisasi kebijakan BI dan Menteri Keuangan jika
memang diperlukan.
Secara terpisah, Direktur Penelitian dan Pengaturan
Perbankan BI Halim Alamsyah menegaskan, dalam diskusinya dengan beberapa pakar,
bahwa audit BPK terhadap kasus Century dinilai bukan sebagai audit investigasi.
Pasalnya, BPK tidak mengungkapkan seluruh fakta dalam audit investigasi yang
sudah dilakukan.Berdasarkan data BPK hanya ada satu bank yang CAR nya berada di
bawah 8 % per 30 September 2008, yaitu Bank Century. Padahal di data per 30
September 2008 itu ada 3 bank yang CAR nya di bawah 8 %.Salah satunya Bank IFI.
BI juga belum mengambil langkah lebih lanjut terhadap bank bermasalah yang
belum bisa dibeberkan identitasnya tersebut.
Selain itu, BPK juga tidak mencantumkan perpu yang
sudah disetujui DPR yang isinya dalam kondisi krisis BI dapat mengubah
ketentuan dalam menanggulangi kondisi sistemik. “Kita sudah jelaskan semua
fakta, tapi tidak sepenuhnya dimasukan dalam pertimbangan BPK,” tandas Halim.Sementara
Ketua Ikatan Pegawai Bank Indonesia (IPEBI) Dian Ediana Rae mengatakan,
pengucuran Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) sesuai Peraturan BI, hanya
diberikan kepada bank yang memiliki CAR minimal 8% kemudian oleh BI diubah
menjadi 0% dengan menerbitkan peraturan baru.
Sebagai bank sentral, BI berhak mengeluarkan
aturan-aturan terkait penyelamatan bank. Terutama dalam situasi genting, BI
memiliki kebebasan mengambil keputusan. Apakah mengambil kebijakan baru, atau
merombak aturan yang sudah ada.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan hasil
audit investigasi atas dana bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Tidak
banyak yang berubah dari hasil audit akhir ini dibandingkan dengan hasil audit
interim sebelumnya. Demikian terungkap dari hasil audit investigasi BPK atas
bailout Bank Century yang disampaikan ke DPR, Menurut Ketua BPK Hadi Purnomo,
hasil audit investigasi Bank Century itu setidaknya mencakup 5 hal yakni:
I. Mengenai proses merger dan pengawasan Bank
Century oleh BI.
1. Dalam proses akuisisi dan merger Bank Danpac,
Bank CIC dan Bank Pikko menjadi Bank Century, BI bersikap tidak tegas dan tidak
prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan yang ditetapkannya sendiri.
2. BI tidak bertindak tegas dalam
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Bank Century selama 2005 sampai 2008.
Seperti BI tidak menempatkan Bank Century sebagai bank dalam pengawasan khusus
meskipun CAR bank Century telah negatif 132,5%. BI memberikan keringanan sanksi
denda atas pelanggaran posisi devisa netto atau PDN sebesar 50% atau Rp 11
miliar dan BI tidak mengenakan sanksi pidana atas pelanggaran BMPK.
II. Pemberian FPJP (Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek)
BI patut diduga melakukan perubahan persyarakatan
CAR dalam PBI agar Bank Century bisa mendapatkan FPJP. Pada saat pemberian
FPJP, CAR Bank Century negatif 3,53%. Hal ini melanggar ketentuan PBI nomor
10/30/PBI/2008.
Selain itu, nilai jaminan FPJP yang diperjanjikan
hanya sebesar 83% sehingga melanggar ketentuan PBI no 10/30/PBI/2008 yang
menyatakan bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150% dari plafon
FPJP.
III. Penetapan Century sebagai bank gagal berdampak
sistemik dan penanganannya oleh LPS
1. A. BI tidak memberika informasi sepenuhnya,
lengkap dan mutakhir pada saat menyampaikan bank Century sebagai bank gagal
yang ditengarai berdampak sistemik kepada KSSK (Komite Stabilitas Sektor
Keuangan). Informasi yang tidak utuh tersebut terkait PPAP atas SSP
(surat-surat berharga), SSB valas yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang
menurunkan CAR dan meningkatkan biaya penanganan. BI baru menerapkan secara
tegas ketentuan PPAP atas aktiva-aktiva produktif setelah Bank Century
diserahkan penanganannya kepada LPS, sehingga terjadi peningkatan biaya
penanganan Bank Century dari yang semula diperkirakan sebesar Rp 632 miliar
menjadi Rp 6,7 triliun.
1.B. BI dan KSSK tidak memiliki kriteria yang
terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century tetapi penetapannya lebih
pada judgement . Proses pengambilan keputusan tersebut tidak dilakukan
berdasarkan data kondisi bank yang lengkap dan mutakhir serta tidak berdasarkan
pada kriteria yang terukur. KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal,
berdampak sistemik serta menetapkan penanganannya kepada LPS dengan mengacu
pada Perpu No. 4 tahun 2008.
2. Dari semua ketentuan yang ada menunjukkan bahwa
pada saat penyerahan Bank Century dari komite koordinasi kepada LPS tanggal 21
November 2008 itu kelembaggan komite koordinasi yang beranggotakan Menkeu
sebagai ketua, Gubernur BI sebagai anggota dan Ketua Dewan Komisioner LPS
sebagai anggota belum pernah dibentuk berdasarkan UU.
III.A. Keputusan KSSK tentang penetapan Bank
Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik tanpa menyebutkan biaya
penanganan yang harus dikeluarkan oleh LPS. Sampai saat ini, LPS belum secara resmi
menetapkan perhitungan perkiraan biaya penanganan perkara. Hal tersebut
melanggar ketentuan peraturan LPS no 5/PLPS/2006 pasal 6 ayat 1 yang menyatakan
bahwa LPS menghitung dan menetapkan perkiraan biaya penanganan gagal berdampak
sistemik.
3.B. Penyaluran PMS (penyerrtaan modal sementara)
sebesar Rp 6,7 triliun dilakukan melalui 4 tahap. Keempat tahap tersebut
tambahan PMS yang tahap II sebesar Rp 2,2 triliun tidak dibahas dengan Komite
Koordinasi. Hal ini bertentangan dengan pasal 33 PLPS. Dimana intinya, selama
bank gagal sistemik dalam penanganan LPS, maka LPS harus meminta komite
koordinasi untuk membahas permasalahan bank serta langkah-langkah yang diambil
kepada komite koordinasi.
PMS tahap II yang sebesar RP 2,2 triliun tersebut
disalurkan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dengan permintaan dari manajemen
Bank Century. Padahal ketentuan dalam PLPS nomor 5 tidak memungkinkan LPS untuk
memberikan bantuan dalam rangka memenuhi kebutuhan likuiditas. Kemudian LPS
melakukan perubahan ketentuan dari PLPS no 5 dengna PLPS no 3 tahun 2008
tanggal 5 Desember 2008 dimana LPS dapat memenuhi kebutuhan likuiditas bank
gagal sistemik. Dan pada tanggal yang sama, Dewan Komisioner LPS memutuskan
untuk menambah biaya penanganan Bank Century untuk memenuhi likuiditas sebesar
Rp 2,2 triliun.
Demikian patut diduga bahwa perubahan PLPS
merupakan rekayasa yang dilakukan agar Bank Century dapat memperoleh tambahan
PMS.
3.C. Berdasarkan dokumen notulensi rapat paripurna
DPR tanggal 18 Desember 2008, penjelasan Ketua DPR periode 2004-2009, surat
Ketua DPR RI kepada Ketua BPK pada tanggal 1 September 2009 perihal permintaan
audit investigasi dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap Bank CEntury
serta berdasarkan laporan Komisi XI DPR mengenai pembahasan laporan kemajuan
pemeriksaan investigasi kasus Bank Century dalam rapat paripurna DPR tanggal 30
September 2009, DPR menyatakan bahwa Perpu No 4 tahun 2008 tentang JPSK ditolak
oleh DPR. Penyertaan Modal Sementara kepada Bank Century sebesar Rp 6,7
triliun, dari jumlah tersebut diantaranya sebesar Rp 2,8 triliun disalurkan
setelah tanggal 18 Desember 2008. Sebagian PMS tahap II sebesar Rp 1,1 triliun,
PMS tahap III sebesar Rp 1,15 triliun dan PMS tahap IV sebesar Rp 630,2 miliar,
BPK berpendapat bahwa penyaluran dana PMS kepada Bank Century setelah tanggal
18 Desember 2008 tidak memiliki dasar hukum.
IV. Penggunaan Dana FPJP dan PMS
1. Penarikan dana dari pihak terkait dalam periode
Bank Century ditempatkan dalam pengawasan khusus yakni pada 6 November 2008
sampai 11 Agustus 2009 sebesar ekuivalen Rp 938,65 miliar melanggar ketentuan
PBI no 6 /9/PBI 2004 tentang tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank
sebagaimana diubah dengan PBI no 7/38/PBI/2005 yang menyatakan bahwa bank
berstatus dalam pengawasan khusus dilarang melakukan transaksi dengan pihak
terkait dan atau pihak-pihak lain yang ditetapkan BI kecuali telah memperoleh
eprsetujuan BI.
2. Bank Century telah mengalami kerugian karena
mengganti deposito milik salah satu nasabah Bank Century yang dipinjamkan atau
digelapkan sebesar US$ 18 juta dengan dana yang berasal dari PMS. Selain itu,
pemecahan deposito nasabah tersebut menjadi 247 Negotiable Certificate Deposit
(NCD) dengan nilai nominal masing-masing Rp 2 miliar dilakukan untuk
mengantisipasi jika Bank Century ditutup maka deposito nasabah tersebut
termasuk deposito yang dijamin oleh LPS.
V. Praktik-praktik tidak sehat dan
pelanggaran-pelanggaran ketentuan oleh pengurus bank, pemegang saham dan
pihak-pihak terkait dalam pengelolaan Bank Century yang merugikan Bank Century.
Dalam penanganan Bank Century, LPS telah
mengeluarkan biaya penanganan untuk penyertaan modal sementara sebesar Rp 6,7
triliun yang digunakan untuk menutupi kerugian Bank Century. Dari jumlah
tersebut sebesar RP 5,86 triliun merupakan kerugian Bank Century akibat adanya
praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan yang
dilakukan oleh pengurus bank, pemegang saham maupun pihak terkait Bank Century.
Karena Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal,
dan penanganannya dilakukan oleh LPS, maka kerugian itu harus ditutup melalui
penyertaan modal sementara oleh LPS yang merupakan bagian dari keuangan negara.
Permasalah-permasalahan yang timbul adalah permasalahan surat-surat berharga
dan transaksi-transaksi pada Bank Century yang mengakibatkan kerugian Bank
Century. Kemudian praktek-praktek perbankan yang tidak sehat yang dilakukan
oleh pemegang saham, pengurus dan pihak terkait lainnya diduga melanggar pasal
8 ayat 1, pasal 49 ayat 1 dan pasal 50 serta pasal 50 a UU No 10 tahun 1998
tentang perubahan atas UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan telah merugikan
Bank Century sekurang-kurangnya sebesar Rp 6,32 triliun yang pada akhirnya
kerugian tersebut ditutup dengan dana PMS dari LPS.
2.2 Ringkasan Laporan Hasil Audit
Investigasi BPK
Gambaran Umum
Bank Century (BC) adalah hasil merger tiga bank,
yaitu Bank Pikko,Bank Danpac,dan Bank CIC pada bulan Desember 2004. Berdasarkan
hasil pemeriksaan BI, dalam kurun waktu tahun 2005 hingga 2008, BC mengalami
berbagai permasalahan terutama berkaitan dengan kepemilikan suratsurat berharga
(SSB) yang berkualitas rendah, dugaan pelanggaran Batas Maksimal Pemberian
Kredit (BMPK) oleh pengurus bank, dan dugaan pelanggaran Posisi Devisa Neto
(PDN).
Sejak 29 Desember 2005,BC dinyatakan berada ”dalam
pengawasan intensif”oleh BI karena permasalahan terkait SSB dan perkreditan
yang berpotensi menimbulkan kesulitan keuangan, serta membahayakan kelangsungan
usaha bank. Kemudian, pada 6 November 2008,BI menetapkan BC sebagai bank ”dalam
pengawasan khusus” dengan posisi rasio kewajiban penyediaan modal minimum atau
capital adequacy ratio (CAR) saat itu 2,35%.
Untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang
dihadapinya, pada 14, 17, dan 18 November 2008 BC menerima FPJP dari BI dengan
jumlah keseluruhan sebesar Rp689 miliar. Setelah menerima FPJP, kondisi BC
terus memburuk yang ditandai dengan menurunnya CAR per 31 Oktober 2008 menjadi
negatif 3,53%. Sehingga, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20 November
2008,BI menetapkan BC sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik.
Keputusan tersebut disampaikan kepada KSSK dengan
Surat BI No lO/232/ GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008 tentang Penetapan
Status Bank Gagal PT Bank Century Tbk dan Penanganan Tindak Lanjutnya.
Selanjutnya, setelah melalui proses pembahasan, dalam Rapat KSSK tanggal 21
November 2008 dan dengan Keputusan No 04/ KSSK.03/2008,
KSSK menetapkan, (1) PT Bank Century Tbk sebagai
Bank Gagal yang Berdampak Sistemik sesuai dengan Surat Gubernur BI No
lO/232/GBI/Rahasia tanggal 20 November 2008; dan (2) Penanganan bank gagal
sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama kepada LPS untuk dilakukan penanganan
sesuai dengan Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2004 tentang LPS.
Sesuai Pasal 21 ayat (3) UU LPS, LPS melakukan
penanganan bank gagal yang berdampak sistemik setelah Komite Koordinasi (KK)
menyerahkan penanganannya kepada LPS. Keputusan KSSK tersebut kemudian
dijadikan pertimbangan oleh KK untuk mengeluarkan Keputusan KK No OI/KK.01/2008
tanggal 21 November 2008 yang menetapkan: (1) Menyerahkan penanganan PT Bank
Century Tbk yang merupakan bank gagal yang berdampak sistemik kepada LPS. (2)
Penanganan bank gagal sebagaimana dimaksud pada diktum pertama dilakukan sesuai
dengan UU No 24 Tahun 2004 tentang LPS.
Setelah penyerahan tersebut, dalam rangka penanganan,
LPS telah melakukan tindakan penanganan BC,antara lain,mengganti direksi dan
komisaris serta mengeluarkan dana untuk PMS sebesar Rp6,76 triliun yang
dikucurkan secara bertahap sejak 24 November 2008 hingga 24 Juli 2009.
2.3 Temuan Pemeriksaan
BPK mengelompokkan temuan pemeriksaan menjadi lima
yaitu, (1) Proses merger dan pengawasan BC oleh BI. (2) Pemberian FPJP. (3)
Penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik dan penanganan nya oleh LPS.
(4) Penggunaan dana FPJP dan PMS. (5) Praktik-praktik tidak sehat dan
pelanggaran-pelanggaran ketentuan oleh pengurus bank, pemegang saham, dan
pihakpihak terkait dalam pengelolaan BC yang merugikan BC.
2.4 Proses Merger dan Pengawasan BC oleh BI
1.
BC adalah hasil merger tiga bank yaitu Bank Pikko,
Bank Danpac, dan Bank CIC. Merger ketiga bank tersebut didahului dengan adanya
akuisisi Chinkara Capital Ltd (Chinkara) terhadap Bank Danpac dan Bank Pikko,
serta kepemilikan saham Bank CIC. Chinkara adalah sebuah perusahaan yang
berdomisili di Kepulauan Bahama. Pemegang saham mayoritas Chinkara adalah RAR.
Persetujuan prinsip atas akuisisi diputuskan dalam
RDG BI pada 27 November 2001. Persetujuan akuisisi diberikan BI meski Chinkara
tidak memenuhi persyaratan administratif berupa publikasi atas akuisisi oleh Chinkara,
laporan keuangan Chinkara untuk tiga tahun terakhir, dan rekomendasi pihak
berwenang di negara asal Chinkara. RDG BI juga mensyaratkan agar ketiga bank
tersebut melakukan merger, memperbaiki kondisi bank, mencegah terulangnya
tindakan melawan hukum, serta mencapai dan mempertahankan CAR 8%.
Izin akuisisi pada akhirnya diberikan pada 5 Juli
2002 meski dari hasil pemeriksaan BI terdapat indikasi adanya perbuatan melawan
hukum yang melibatkan Chinkara pada Bank CIC. BI tetap melanjutkan proses
merger atas ketiga bank tersebut meski berdasarkan hasil pemeriksaan BI periode
tahun 2001 hingga 2003 ditemukan adanya pelanggaran signifikan oleh ketiga bank
tersebut antara lain, a.
Pada Bank CIC, terdapat transaksi SSB fiktif
senilai USD25 juta yang melibatkan Chinkara dan terdapat beberapa SSB yang
berisiko tinggi sehingga bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP) yang berakibat CAR menjadi negatif, serta pembayaran kewajiban
general sales management 102 (GSM 102) dan penarikan Dana Pihak Ketiga (DPK)
dalam jumlah besar yang mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas,
serta pelanggaran PDN. b.
Pada Bank Pikko,terdapat kredit kepada Texmaco yang
dikategorikan macet dan selanjutnya ditukarkan dengan medium term notes (MTN)
Dresdner Bank yang tidak memiliki notes rating, sehingga bank wajib membentuk
PPAP yang berakibat CAR menjadi negatif. Proses akuisisi seharusnya dapat
dibatalkan jika mengacu pada persyaratan yang ditentukan oleh BI dalam
persetujuan akuisisi tanggal 5 Juli 2002.
Persyaratan tersebut antara lain, apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Bank CIC terbukti bahwa Chinkara sebagai
pemegang saham bank melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-
undangan atau dinyatakan ”tidak lulus”dalam penilaian fit and propper test.
Pada 6 Desember 2004,BI memberikan persetujuan merger atas ketiga bank
tersebut.
Pemberian persetujuan merger tersebut dipermudah
berdasarkan catatan Direktur Direktorat Pengawasan Bank 1/DPwBl (SAT) kepada
Deputi Gubernur/DpG (AP) dan Deputi Gubernur Senior/DOS (AN) pada 22 Juli 2004.
Bentuk kemudahan tersebut adalah, (1) SSB pada Bank CIC yang semula dinilai
macet oleh BI menjadi dinilai lancar sehingga kewajiban pemenuhan setoran
kekurangan modal oleh pemegang saham pengendali (PSP) menjadi lebih kecil dan
akhirnya CAR seolah-olah memenuhi persyaratan merger, (2) Hasil fit and propper
test ”sementara” atas pemegang saham (RAR) yang dinyatakan tidak lulus,ditunda
penilaiannya dan tidak diproses lebih lanjut.
Pemberian kelonggaran tersebut tidak pernah dibahas
dalam forum RDG namun hanya dilaporkan dalam catatan Direktur DPwBl (SAT)
tanggal 22 Juli 2004. Dalam proses pemberian izin merger terjadi manipulasi
oleh Direktur DPwBl (SAT) yang menyatakan seolah-olah Gubernur BI (BA)
memberikan disposisi bahwa merger ketiga bank tersebut mutlak diperlukan.
Dalam keterangan dan Surat BA kepada Pjs Gubemur BI
tanggal 2 November 2009, BA menyatakan bahwa tidak pernah memberikan disposisi
yang menyatakan mergermutlak diperlukan. Dan BA juga menyatakan bahwa telah
terjadi manipulasi oleh Direktur DPwBl (SAT) dalam catatan yang disampaikan
kepada DOS (AN) dan DpG (AP) tersebut.
BI tidak menerapkan aturan dan persyaratan dalam
pelaksanaan akuisisi dan merger sebagaimana diatur dalam, (1) Surat Keputusan
(SK) Direksi BI No 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Umum; (2) SK Direksi BI No
31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif; dan
(3) Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 2/l/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000
tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (fit and propper test) sebagaimana
terakhir diubah dengan PBI No 5/25/PBI/2003 tanggal 10 November 2003.
Dengan demikian,dapat disimpulkan bahwa dalam
proses akuisisi dan merger Bank Danpac,Bank Pikko, dan Bank CIC menjadi BC, BI
bersikap tidak tegas dan tidak prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan
yang ditetapkannya sendiri. 2. BI tidak bertindak tegas terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan BC selama tahun 2005–2008. a.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BI atas BC yang diterbitkan pada 31
Oktober 2005, diketahui bahwa posisi CAR BC per 28 Februari 2005 (dua bulan
setelah merger) adalah negatif 132,5%.
Sesuai dengan ketentuan dalam FBI No 3/21/PBI/2001
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Bank Minimum Bank Umum dan PBI
No.6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan Status Bank
sebagaimana diubah dengan PBI No 7/38/PB 1/2005, seharusnya BC ditetapkan
sebagai bank ”dalam pengawasan khusus” sejak Laporan Hasil Pemeriksaan BI atas
BC diterbitkan pada 31 Oktober 2005.
Atas usul Direktur DPwB 1 (RS) dan disetujui DpG
Bidang 6 (SCF), BC hanya ditetapkan sebagai bank ”dalam pengawasan intensif”.
Nilai CAR BC per 28 Februari 2005 menjadi sebesar negatif 132,5%,terutama
disebabkan adanya aset berupa SSB sebesar USD203 juta yang berkualitas rendah,
di antaranya sebesar USD116 juta yang masih dikuasai pemegang saham.
BI menyetujui untuk tidak melakukan penyisihan 100%
atau pengakuan kerugian (PPAP) terhadap SSB tersebut. Meski menurut PBI No 7/2/
PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum,seharusnya atas SSB
tersebut dilakukan PPAP atau penyisihan sebesar 100%. Hal tersebut merupakan
rekayasa akuntansi yang dilakukan BC agar laporan keuangan bank tetap
menunjukkan kecukupan modal dan ini disetujui BI sebagai pengawas bank.
BI menyetujui kondisi tersebut dengan alasan,
pemegang saham telah berkomitmen untuk menjualkan SSB bermasalah serta membuat
skema penyelesaian melalui assets management agreement (AMA) dan assets sales
and purchase agreement (ASPA). Namun, komitmen dan skema penyelesaian tersebut
tidak pernah dilaksanakan oleh PSP.
Sementara itu, pengawas BI tidak memerintahkan
manajemen BC untuk melakukan penyisihan dan tidak mengakui adanya kerugian atas
SSB.Jika BI bertindak tegas terhadap BC, terutama penerapan ketentuan mengenai
penyisihan SSB, maka nilai CAR BC menjadi negatif.
Dan, sesuai dengan ketentuan BI tentang tindak
lanjut pengawasan dan penetapan status bank, BC seharusnya ditempatkan ”dalam
pengawasan khusus”sejak 31 Oktober 2005. Bank yang ditempatkan ”dalam
pengawasan khusus” adalah bank yang mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya, sehingga BI mengharuskan bank dan PSP untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut dalam waktu enam bulan (bisa diperpanjang
selama tiga bulan).
Apabila dalam periode tersebut ternyata
permasalahan bank tidak terselesaikan, maka BI akan menyatakan sebagai bank
gagal. Sedangkan bank ”dalam pengawasan intensif”adalah bank yang mengalami
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya,sehingga BI
mengharuskan bank dan PSP untuk menyelesaikan permasalahan bank tanpa ada
batasan waktu yang jelas.
Penetapan BC hanya ”dalam pengawasan
intensif”mengakibatkan tidak adanya kekuatan bagi BI untuk memaksa pemegang
saham agar menyelesaikan permasalahan dalam jangka waktu yang jelas, serta
tidak memberikan kepastian hukum bagi BI untuk mengambil tindakan jika pemegang
saham tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.
Hal tersebut di atas melanggar ketentuan, 1) FBI
No.7/27PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang mengatur bahwa
SSB yang tidak diperdagangkan di bursa efek, tidak terdapat informasi nilai
pasar secara transparan, dan tidak memiliki peringkat investasi, maka SSB
tersebut dinilai macet dan harus dibentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP) 100%. 2) PBI No 3/21/PBI/2001 tentang Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum yang mengatur bahwa bank yang tidak dapat memenuhi
modal minimum (CAR) 8% akan ditempatkan ”dalam pengawasan khusus”
Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan yang
berlaku. 3) PBI No-6/9/PBI/2004 tentang Tindak Lanjut Pengawasan dan Penetapan
Status Bank sebagaimana diubah dengan PBI No 7/38/PBI/2005 yang mengatur bahwa
bank diterapkan ”dalam pengawasan khusus” bila memenuhi satu atau lebih
kriteria,yakni CAR di bawah 8% atau rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah
kurang dari rasio yang ditetapkan untuk GWM dengan perkembangan yang memburuk
dalam waktu singkat atau berdasarkan penilaian BI mengalami kesulitan
likuiditas yang mendasar. b.
Sejak tahun 2005 sampai 2007,hasil pemeriksaan BI
atas BC menemukan pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dalam
kegiatan BC. Namun, BI tidak mengambil tindakan yang tegas.Pelanggaran BPMK
tersebut antara lain,melalui pembelian SSB valas yang berkualitas rendah,
penempatan antarbank yang menurut Bankers Almanak Tahun 2003 tidak termasuk
dalam Top 200, dan pemberian fasilitas letter of credit (L/C) yang hanya
dijamin dengan bankers acceptance.
Hal tersebut melanggar ketentuan PHI No 7/3/PBI/
2005 tentang BMPK Bank Umum yang menyatakan bahwa bank yang tidak menyelesaikan
pelanggaran BMPK selain dikenakan sanksi administrasi terhadap dewan komisaris,
direksi, pegawai bank, pemegang saham, maupun pihak terafiliasi lainnya dapat
dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) buruf b,
Pasal 50, dan Pasal 50 A Undang- Undang (UU) No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU No 10 Tahun 1998. c.
Sejak tahun 2004,BC melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan PDN. Sehingga, sesuai ketentuan, BC seharusnya diberikan sanksi denda
sebesar Rp22 miliar. Dalam pelaksanaannya,BI memberikan keringanan denda
sebesar 50%. Sehingga BC hanya membayar sanksi denda sebesar Rp22
miliar.Pemberian keringanan denda tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam
FBI No 7/37/PBI/2005 tentang PDN Bank Umum yang mengatur bahwa bank wajib
memelihara PDN secara keseluruhan setinggi-tingginya 20% dari modal dan untuk
neraca setinggi- tingginya 20% dari modal tengah hari kerja dan akhir hari
kerja.
Terhadap bank yang tidak memenuhi ketentuan
tersebut, selain dikenakan sanksi administrasi, juga dikenakan sanksi berupa
kewajiban membayar sebesar Rp250 juta setiap hari pelanggaran. d. Pengawas BI
tidak mengungkapkan berbagai pelanggaran lainnya yang dilakukan pemegang saham,
pengurus bank, dan pihakpihak terkait dengan BC yang mengakibatkan kerugian BC,
seperti pemberian kredit dan fasilitas L/C yang melanggar ketentuan dan pengeluaran
biaya-biaya fiktif.
Pelanggaran-pelanggaran tersebut baru diungkapkan
Tim Investigasi BI saat BC telah ditangani LPS (tahun 2005 sampai 2009). Hal
tersebut menunjukkan bahwa Bl tidak bertindak tegas dalam penerapan ketentuan
BI terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan BC. BI membiarkan BC
melakukan rekayasa akuntansi, sehingga seolah-olah BC masih memenuhi kecukupan
modal (CAR) dengan cara membiarkan BC melanggar ketentuan PBI No 7/2/PBI/ 2005
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Produktif Bank Umum. BI baru bersikap tegas
menerapkan ketentuan BI mengenai PPAP saat BC telah ditangani oleh LPS.
2.5 Pemberian FPJP ( Fasilitas Pinjaman
Jangka Panjang)
Sehubungan dengan kesulitan likuiditas yang
dihadapinya,BC mengajukan permohonan repo aset kredit kepada BI pada 30 Oktober
2008 sebesar Rp1 triliun.Bl kemudian memproses permohonan tersebut sebagai
permohonan FPJP.Saat mengajukan permohonan FPJP, posisi CAR BC menurut
perhitungan BI adalah positif 2,35% (posisi 30 September 2008). Sementara itu,
PBI No lO/26/PBI/ 2008 tanggal 30 Oktober 2008 mensyaratkan bahwa untuk
memperoleh FPJP, bank harus memiliki CAR minimal 8%.
Dengan demikian, BC tidak memenuhi syarat untuk
memperoleh FPJP. Pada 14 November 2008 BI mengubah PBI mengenai persyaratan
pemberian FPJP dari semula CAR minimal 8% menjadi CAR positif.Padahal,menurut
data BI, posisi CAR bank umum per 30 September 2008 berada di atas 8%, berkisar
antara 0,39 % sampai 476,34%, di mana satu-satunya bank yang CAR-nya di bawah
8% adalah BC.
Dengan demikian, perubahan persyaratan CAR dalam
PBI tersebut patut diduga dilakukan untuk merekayasa agar BC dapat memperoleh
FPJP. Dengan perubahan ketentuan tersebut, dan dengan menggunakan posisi CAR
per 30 September 2008 sebesar positif 2,35%, BI menyetujui pemberian FPJP kepada
BC sebesar Rp502,07 miliar pada 14 November 2008 yang dicairkan pada hari yang
sama pukul 20.43 WIB sebesar Rp356,81 miliar dan tanggal 17 November 2008
sebesar Rp145,26 miliar.
Kemudian, pada 18 November 2008, BC mengajukan
tambahan FPJP sebesar Rp319,26 miliar. Permohonan tersebut disetujui sebesar
Rpl87,32 miliar dan kemudian dicairkan BI pada hari yang sama.Dengan
demikian,total pemberian FPJP adalah sebesar Rp689 miliar. Penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwa posisi CAR BC pada 31 Oktober 2008 (sebelum
persetujuan FPJP) sudah negatif 3,53%.
Hal ini melanggar ketentuan PBI No lO/30/PBI/ 2008
yang menyatakan, bahwa bank yang dapat mengajukan FFJP adalah bank dengan CAR
positif. Selain itu, sebagai jaminan FPJP yang diperjanjikan sebesar Rp467,99 miliar,
ternyata tidak secure menurut penilaian Direktorat Kredit, BPR, dan UMKM (DKBU)
BI, sehingga nilai jaminan hanya sebesar 83% dari plafon FPJP. Hal ini
melanggar ketentuan PBI N0 10/26/PBI/2008 juncto PBI No.lO/ 30/PBI/2008 yang
menyatakan, bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150% dari plafon
FPJP.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Karena Bank Century ditetapkan sebagai bank gagal,
dan penanganannya dilakukan oleh LPS, maka kerugian itu harus ditutup melalui
penyertaan modal sementara oleh LPS yang merupakan bagian dari keuangan negara.
Permasalah-permasalahan yang timbul adalah permasalahan surat-surat berharga
dan transaksi-transaksi pada Bank Century yang mengakibatkan kerugian Bank
Century. Kemudian praktek-praktek perbankan yang tidak sehat yang dilakukan
oleh pemegang saham, pengurus dan pihak terkait lainnya diduga melanggar pasal
8 ayat 1, pasal 49 ayat 1 dan pasal 50 serta pasal 50 a UU No 10 tahun 1998
tentang perubahan atas UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan telah merugikan
Bank Century sekurang-kurangnya sebesar Rp 6,32 triliun yang pada akhirnya
kerugian tersebut ditutup dengan dana PMS dari LPS.
Dalam penanganan Bank Century, LPS telah
mengeluarkan biaya penanganan untuk penyertaan modal sementara sebesar Rp 6,7
triliun yang digunakan untuk menutupi kerugian Bank Century. Dari jumlah
tersebut sebesar RP 5,86 triliun merupakan kerugian Bank Century akibat adanya
praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran-pelanggaran ketentuan yang
dilakukan oleh pengurus bank, pemegang saham maupun pihak terkait Bank Century.
Kasus
Bank Century - Kasus Bank Century
hingga kini masih menjadi pemberitaan hangat disejumlah media massa, baik media
massa yang berorientasi elektronik dan cetak. Kasus Bank Century juga telah
menyeret berbagai institusi hukum di Indonesia, seperti halnya KPK, POLRI,dan DPR.
Bagaimana sebenarnya kronologi awal persoalan yang
dihadapi oleh Bank Century sampai Bank ini dinyatakan harus diselamatkan oleh
pemerintah? Berikut kita simak kronologisnya, dimana sumber dari kronologis
berikut ini diperoleh Karo Cyber dari berbagai sumber situs internet:
2003
Bank CIC diketahui didera masalah yang diindikasikan
dengan adanya surat-surat berharga valutas asing sekitar Rp2 triliun, yang
tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan sulit di
jual. BI menyarankan merger untuk mengatasi ketidakberesan bank ini.
2004
Bank CIC merger bersama Bank Danpac dan bank Pikko yang
kemudian berganti nama menjadi Bank Century. Surat-surat berharga valas terus
bercokol di neraca bank hasil merger ini. BI menginstruksikan untuk di jual,
tapi tidak dilakukan pemegang saham. Pemegang saham membuat perjanjian untuk
menjadi surat-surat berharga ini dengan deposito di Bank Dresdner, Swiss, yang
belakangan ternyata sulit ditagih.
2005
BI mendeteksi surat-surat berharga valas di Ban Century
sebesar US$210 juta.
30 Oktober dan 3 November 2008
Sebanyak US$56 juta surat-surat berharga valas jatuh tempo
dan gagal bayar. Bank Century kesulitan likuiditas. Posisi CAR Bank Century per
31 Oktober minus 3,53%.
13 November 2008
Bank Century gagal kliring karena gagal menyediakan dana
(prefund)
17 November 2008
Antaboga Delta Sekuritas yang dimilik Robert Tantutar
mulai default membayar kewajiban atas produk discreationary fund yang di jual
Bank Century sejak akhir 2007.
20 November 2008
BI Mengirim surat kepada Menteri Keuangan yang menentapkan
Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan mengusulkan langkah
penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Di hari yang sama, Komite
Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang beranggotakan BI, Menteri Keuangan, dan
LPS, melakukan rapat.
21 November 2008
Ban Century diambil alih LPS berdasarkan keputusan KKSK
dengan surat Nomor 04.KKSK.03/2008. Robert Tantular, salah satu pemegang saham
Bank Century, bersama tujuh pengurus lainnya di cekal. Pemilik lain, Rafat Ali
Rizvi dan Hesham Al-Warraq menghinglang.
23 November 2008
LPS memutuskan memberikan dana talangan senilai Rp2,78
triliun untuk mendongkrak CAR menjadi 10%.
5 Desember 2008
LPS menyuntikkan dana Rp2,2 triliun agar Bank Century
memenuhi tingkat kesehatan bank.
9 Desember 2008
Bank Century mulai menghadapi tuntutan ribuan investor
Antaboga atas penggelapan dana investasi senilai Rp1,38 triliun yang mengalir
ke Robert Tantular.
31 Desember 2008
Bank Century mencatat kerugian Rp7,8 triliun pada 2008.
Aset-nya tergerus menjadi Rp5,58 triliun dari Rp14,26 triliun pada 2007.
3 Februari 2009
LPS menyuntikkan dana Rp1,5 triliun.
11 Mei 2009
Bank Century keluar dari pengawasan khusus BI.
3 Juli 2009
Parlemen mulai menggugat karena biaya penyelamatan Bank
Century terlalu besar.
21 Juli 2009
LPS menyuntikkan dana Rp630 miliar.
18 Agustus 2009
Robert Tantular dituntut delapan tahun penjara dan denda
Rp50 miliar subsider lima bulan kurungan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sebelumnya pada 15 Agustus, manajemen Bank Century menggugatnya sebesar Rp2,2
triliun.
3 September 2009
Kepala Kepolisian Republik Indonesia menyampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat agar terus mengejar aset Robert Tantular sebesar
US$19,25 juta, serta Hesham Al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi sebesar US$1,64
miliar.
10 September 2009
Robert Tantular divonis 4 tahun penjara dan dengan Rp50
miliar.
Dengan adanya kasus Bank Century ini, maka beberapa saat
yang lalu masyarakat juga sempat dihebohkan kasus Bibit-Chandra yang
disebut-sebut terkait dengan kasus Bank Century itu sendiri.
Dalam sebuah pemberitaan yang diterbitkan oleh
liputan6.com, maka Tif pencari Fakta (TPF) kasus Bibit-Chandra menduga, upaya
kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yang berujung pada penahanan Bibit dan
Chandra, terkait dengan kasus Bank Century.
"Menurut kami, ada kaitannya. Tapi sejauh mana
kaitannya masih kami dalami," kata Sekretaris TPF Deny Indrayana, Selasa
(10/11).
Seperti diberitakan sebelumnya, upaya penyelamatan Bank
Century diwarnai dugaan korupsi dan suap yang melibatkan Kabareskrim Komjen
Susno Duadji. Susno diduga ikut menikmati aliran dana Rp 10 miliar dan tengah
diselidiki oleh KPK.
Namun dalam beberapa kali kesempatan, Susno Duadji yang
sempat dinonaktfikan dari jabatannya selalu membantah dugaan itu. Bahkan saat
mengikuti rapat dengan Komisi III DPR, Susno sempat bersumpah bahwa dirinya
tidak menerima uang dari Bank Century. Hal yang sama juga diungkapkan Susno
ketika dimintai keterangan oleh TPF beberapa waktu lalu.
Kini TPF bekerja keras untuk mengungkap apakah memang ada
keterkaitan langsung antara Kasus Bank Century dengan upaya kriminalisasi
terhadap Bibit dan Chandra.
Atas kasus Bank Century hal yang paling mencuat
akhir-akhir ini adalah mengenai Hak Angket DPR untuk kasus Century. Mengenai
hak angket Century sejauh ini telah terbentuk Tim Sembilan yang diharapkan
dapat memimpin Panitia Angket Century itu sendiri.
Sejumlah aktivis dari berbagai elemen masyarakat, Kamis
(3/12), menyatakan sikap, berharap Tim Sembilan, tim yang mengusung hak angket
Bank Century, untuk turut dalam panitia khusus hak angket Bank Century. Mereka
mendukung dan memercayai anggota Tim Sembilan untuk memimpin dan menjadi
anggota panitia angket tersebut.
"Saya pikir yang diusulkan semestinya ketua pansus
itu dari Tim Sembilan," ujar aktivis KOMPAK, Ray Rangkuti, ketika ditemui
dalam konferensi pers di Kantor PP Muhammadiyah, di Jakarta, Kamis (3/12).
Turut hadir dalam pertemuan tersebut aktivis dari Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK),
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Forum Kepemimpinan Muda
Indonesia (FKIP), dan beberapa elemen lainnya.
Harapan mereka adalah adanya penyeleksian dalam memilih
orang-orang yang akan duduk dalam panitia hak angket tersebut. "Kalau bisa
orang-orangnya diseleksi," kata Ray.
Dalam pernyataan sikapnya, mereka mengatakan, kepercayaan
masyarakat telah tertambat kepada Tim Sembilan sejak upaya mereka yang tidak
kenal lelah dalam mengusung dan mengajukan hak angket ini. Mereka berharap
pemimpin parpol sebaiknya tidak mengabaikan kepercayaan rakyat tersebut.
Selanjutnya, Jumat (4/12) besok, bertepatan dengan
penetapan panitia hak angket Bank Century oleh DPR, para aktivis tersebut
berencana akan menggelar aksi di Nusantara Tiga Gedung DPR RI, Jakarta, pukul
14.00. Tema yang diusung masih sama, yaitu "Tolak Penumpang Gelap Pansus
Century".
16/09/2009 19:17
Pemberian bail out
atau dana penyertaan oleh pemerintah kepada Bank Century yang membengkak hingga
Rp 6,7 triliun dari semula hanya Rp 1,3 triliun terus menjadi bahan pembicaraan
dan perdebatan seru. Bukan hanya di media massa, di kalangan para ahli, dan
birokrasi pemerintahan, tapi juga di parlemen. Anggota Komisi Keuangan dan
Perbankan (Komisi XI) DPR RI terus mempersoalkannya.
Natsir Mansyur mensinyalir
tindakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang juga Ketua Komite
Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) memberikan dana penyertaan ke Bank Century
merupakan tindak pidana yang meliputi dua aspek yaitu politik serta hukum.
"Jelas-jelas sudah dinyatakan sebagai bank gagal, kok masih diberi
tambahan Rp 4,9 triliun. Ini sudah tindakan pidana," kata anggota Komisi
XI DPR dari Partai Golkar itu.
Untuk itu, ia mendesak
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menonaktifkan Ketua KSSK. "Lebih bagus
Ketua KSSK yang juga dijabat Menteri Keuangan harus dinonaktifkan dan hanya
satu orang yang bisa, yaitu Presiden," ujar Natsir.
Namun menurut Menkeu, keputusan menyelamatkan Bank Century pada 21 November
2008 itu tidak bisa dinilai berdasarkan kondisi saat ini. Sebab ketika itu
kondisi perbankan Indonesia dan dunia mendapat tekanan berat akibat krisis
global. Keputusan KSSK saat itu untuk menghindari terjadinya krisis secara
berantai pada perbankan yang dampaknya jauh lebih mahal dan lebih dasyat dari
1988. "Dengan meminimalkan ongkosnya dan dikelola oleh manajemen yang baik
maka Bank Century punya potensi untuk bisa dijual dengan harga yang baik,"
ucap Sri Mulyani. Menkeu pun siap dipanggil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) guna
dimintai keterangan seputar pengambilan kebijakan penyelamatan bank yang
memiliki aset sekitar Rp 10 triliun itu.
Menkeu menyebutkan hingga Juli 2009 bank hasil penggabungan PT Bank CIC
Internasional, Bank Danpac, dan Bank Pikko itu sudah untung sebesar Rp 139,9
miliar. Bahkan, menurut Bank Indonesia, jika dilihat posisinya sejak Desember
2008 sampai Agustus 2009, ada kenaikan simpanan nasabah sebesar Rp 1,1 triliun.
Namun, pemberian dana peryertaan Century yang sekarang terus dipersoalkan
membuat Menkeu cemas lantaran bisa berakibat buruk terhadap bank itu. "Isu
panas atas penyehatan Century yang tak sesuai dengan fakta bukan mustahil bisa
menjungkalkan kembali bank ini," tutur Sri Mulyani.
Kekhawatiran Menkeu setidaknya mulai terjadi. "Sejak Bank Century
diributkan akhir-akhir ini, tolong tulis yang besar ya, dana pihak ketiga Bank
Century turun Rp 431 miliar," ujar Deputi Gubernur BI Budi Rochadi di
Gedung DPR/MPR, Jakarat, Rabu (16/9). "Coba, kalau kasus Century didiamkan
saja, pasti kejadiannya tidak seperti itu. Itu sekarang salah siapa."
Selain besarnya dana penyertaan, hal lain yang dipersoalkan kenapa Bank Century
tak ditutup kabarnya ada nasabah besar yang dilindungi. Kabarnya, nasabah besar
itu memiliki dana sekitar Rp 1 triliun hingga Rp 2 triliun. Harry Azhar,
anggota Komisi XI DPR, menyebut nasabah besar itu antara lain Budi Sampoerna.
Paman Putera Sampoerna, mantan pemilik PT H.M. Sampoerna itu disinyalir punya
dana sebesar Rp 1,8 triliun di Century.
Munculnya Budi Sampoerna turut menyeret Komisaris Jenderal Susno Duadji. Isu
tidak sedap merebak di kalanggan anggota dewan. Kepala Badan Reserse Kriminal
Markas Besar Polri itu disebut-sebut dalam proses pencairan dana Budi
Sampoerna. Keterlibatan Susno, seperti ditulis Majalah Tempo, terlihat
dari dikeluarkannya surat Badan Reserse Kriminal pada 7 serta 17 April 2009.
Surat itu menyatakan dana milik Budi Sampoerna dan 18 juta dolar AS milik PT
Lancar Sampoerna Bestari di Bank Century "sudah tak ada masalah
lagi".
Selain itu, Susno turut memfasilitasi beberapa pertemuan direksi Century dengan
pihak Budi di kantor Bareskrim. Pertemuan itu menghasilkan dua kesepakatan.
Salah satunya soal persetujuan pencarian dana senilai 58 juta dolar AS-dari
total Rp 2 triliun-milik Budi atas nama PT Lancar Sampoerna Bestari.
Kesepakatan lainnya, pencairan dilakukan dalam rupiah. Atas upaya tersebut,
Susno dikabarkan dijanjikan oleh Lucas, kuasa hukum Budi, komisi 10 persen dari
jumlah uang Budi yang akan cair.
Soal komisi 10 persen itu dibantah Susno. "Boro-boro dapat itu," ucap
Susno. "Ongkos saya ke luar negeri untuk mendapatkan aset-aset Robert
(Tantular, pemilik Bank Century) saja belum diganti. Bantahan serupa juga
dikatakan Lucas. "Maksudnya fee? Enggak ada sama sekali. itu fitnah,"
tegas Lucas seperti ditulis Majalah Tempo.
***
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut ada perkara kriminal di Bank Century
sehingga tidak layak diselamatkan. Menurut Wapres, masalah yang dihadapi Bank
Century bukan lantaran krisis global. Melainkan karena pemiliknya yaitu Robert
Tantular merampok dana bank sendiri. "Masalah (Bank) Century itu bukan
masalah karena krisis, masalah perampokan, kriminal. Karena pengendali bank ini
merampok dana bank sendiri dengan segala cara termasuk obligasi bodong,"
ujar Wapres Kalla.
Karena itu, Wapres Kalla lalu memerintahkan polisi menangkap Robert Tantular
serta direksi Bank Century. Dia khawatir Robert dan direksi Bank Century
melarikan diri. "Saat itu juga saya telepon (Kepala Polri Jenderal Bambang
Hendarso Danuri), Robert Tantular dan direksi yang bertanggung jawab ditangkap
dalam dua jam," kata Kalla.
Menurut Arif Havas Oegroseno, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional Luar Negeri, seperti dimuat Majalah Tempo, modusnya
yaitu pemilik Bank Century membuat perusahaan atas nama orang lain untuk
kelompok mereka. Lantas, mereka mengajukan permohonan kredit. Tanpa prosedur
semestinya serta jaminan yang memadai, mereka dengan mudah mendapatkan kredit.
"Bahkan ada kredit Rp 98 miliar yang cair hanya dalam dua jam," kata
Arif. Jaminan mereka, tambahnya, hanya surat berharga yang ternyata bodong.
Robert sendiri sudah divonis penjara empat tahun serta denda Rp 50 miliar oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 10 September lalu. Vonis ini jauh lebih rendah
dibanding tuntutan jaksa yakni delapan tahun penjara. Karena itu, Kejaksaan
Agung langsung mengajukan banding atas putusan tersebut. Alasannya, majelis
hakim hanya mengenakan pada satu dakwaan dari tiga dakwaan yang diajukan jaksa
penuntut umum.
Tiga dakwaan tersebut pertama, Robert dianggap menyalahgunakan kewenangan
memindahbukukan dan mencairkan dana deposito valas sebesar 18 juta dolar AS
tanpa izin sang pemilik dana, Budi Sampoerna. Kedua, mengucurkan kredit kepada
PT Wibowo Wadah Rejeki Rp 121 miliar dan PT Accent Investindo Rp 60 miliar.
Pengucuran dana ini diduga tak sesuai prosedur. Dakwaan yang ketiga adalah
melanggar letter of commitment dengan tidak mengembalikan surat-surat
berharga Bank Century di luar negeri dan menambah modal bank. Perbuatan Robert
dan pemegang saham lain berbuntut pada krisis Bank Century yang berujung pada
pengucuran dana talangan Rp 6,7 triliun.
Selain Robert, mantan Direktur Utama Bank Century, Hermanus Hasan Muslim, juga
sudah divonis tiga tahun penjara dengan denda Rp 5 miliar. Sedangkan mantan
Direktur Treasur Bank Century Laurence Kusuma divonis tiga tahun penjara dan
denda Rp 5 miliar. Tersangka lainnya adalah Hesman Al Waraq Talaat dan Rafat
Ali Rizvi. Dua pemegang saham Bank Century ini juga dipersangkakan dalam tindak
pidana pencucian uang.
Polisi turut menetapkan Dewi Tantular selaku Kepala Divisi Bank Note Bank
Century sebagai tersangka. Dewi kini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Dua tersangka lainnya adalah Linda Wangsa Dinata, selaku pimpinan KPO Senayan,
dan Arga Tirta Kiranah, Kadiv legal Bank Century. Keduanya kini dalam proses
penyidikan.
Kini, pemerintah terus memburu aset Robert Tantular dan pemegang saham lainnya
di luar negeri dengan membentuk tim pemburu aset. Tim ini beranggotakan staf
Departemen Keuangan, Markas Besar Polri, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin
Simpanan, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan, Departemen Luar
Negeri, Kejaksaan Agung, serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sejauh ini, kata Arif Havas Oegroseno, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian
Internasional Luar Negeri, tim sudah berhasil menelusuri aset itu di 13
yurisdiksi. Namun, dia enggan membeberkan secara detail lokasi yurisdiksi
tersebut. Sebab jika lokasi aset itu dibuka, pemiliknya akan cepat-cepat menggugat
banknya, seperti yang terjadi di Hongkong.
Untuk di dalam negeri, jumlah aset yang disita polisi terkait kasus tindak
pidana perbankan di Bank Century sebesar Rp 1,191 miliar. Sementara di luar
negeri, polisi berhasil menemukan dan memblokir aset milik Robert Tantular
senilai 19,25 juta dolar AS atau setara Rp 192,5 miliar. Uang sebesar itu
antara lain terdapat di USB AG Bank Hongkong senilai 1,8 juta dolar AS, PJK
Jersey sejumlah 16,5 juta dolar AS, dan British Virgin Island (Inggris) sebesar
927 ribu dolar AS.
Selain itu, polisi juga menemukan dan memblokir aset Hesham Al Waraq Talaat
serta Rafat Ali Rizvi senilai Rp 11,64 triliun. Aset itu tersebar di UBS AG
Bank sejumlah 3,5 juta dolar AS, Standard Chartered Bank senilai 650 ribu dolar
AS dan sejumlah SGD 4.006, di ING Bank sebesar 388 ribu dolar AS.(*dari
berbagai sumber/VIN)